SMK Binawiyata Sragen

  • This is default featured slide 1 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 2 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 3 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

SERTIFIKASI GURU

AKHIRNYA GATAL JUGA TANGAN INI UNTUK TIDAK MENULIS TENTANG SERTIFIKASI, SESUATU YANG AKHIR - AKHIR INI MENJADI FENOMENA BARU DI BUNIA PENDIDIKAN. NAMUN UNTUK TULISAN PERTAMA (sebagai pengantar saja) SENGAJA SAYA CUPLIK DARI WEB TEMAN GURU. LET'S GO !!!

PENILAIAN PORTOFOLIO: SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN

Good education requires good teachers
(International Conference on Education in Geneva).
Barang siapa berani mengajar, dia tak boleh berhenti belajar
(John Cotton Dana)

Tanpa guru yang dapat dijadikan andalannya, mustahil sesuatu sistem pendidikan berikut acara kurikulernya dapat mencapai hasil sebagaimana diharapkan. Maka prasyarat utama yang harus dipenuhi bagi berlangsungnya proses belajar-mengajar yang menjamin optimalisasi hasil ‘pembelajaran’ secara kurikuler ialah tersedianya guru dengan kualifikasi dan kompetensi yang mampu memenuhi tuntutan tugasnya (Fuad Hassan, Kompas, 28 Feburari 2000).

Pendahuluan
Guru adalah komponen yang paling strategis dalam proses pendidikan. Jauh lebih statregis dibandingkan dengan dua komponen strategis lainnya, yaitu peserta didik dan kurikulum. Tanpa guru siapa yang akan melaksanakan proses pendidikan? Tanpa peserta didik siapa yang akan diajar? Dan tanpa kurikulum, apa yang akan diajarkan oleh guru kepada peserta didik? Dengan demikian ketiga komponen tersebut saling kait mengait tidak dapat dipisahkan. Proses pendidikan masih dapat berjalan walaupun katakanlah tidak dilengkapi dengan sarana yang memadai. Lebih dari itu, tanpa guru pendidikan tidak akan berjalan tanpa guru. Lebih dari itu, pendidikan yang baik memerlukan guru yang baik. Good education requires good teachers. Demikian pendapat kebanyakan peserta dan pakar pendidikan dalam sebuah acara konferensi internasional tentang pendidikan di Swiss (Bhaskara Rao, 2003: 28).
Ada dua aspek utama yang terkait dengan guru atau pendidik: (1) kualifikasi akademik dan kompetensinya, dan (2) tingkat kesejahterannya. Kedua aspek tersebut ibarat dua sisi mata uang, tidak akan dapat dipisahkan. Guru akan terpenuhi syaratnya sebagai profesi jika memiliki kedua aspek tersbut sekaligus. Tidak terpenuhinya salah satu dari kedua aspek tersebut akan mengurangi tingkat profesionalitas seorang guru

Demikian Pentingkah Guru itu?
Berikut ini penulis sengaja menyebutkan sederetan pernyataan dari berbagai tokoh dam pakar pendidikan yang menjelaskan tentang pentingnya posisi guru dalam sistem pendidikan nasional ataupun dalam kehidupan manusia.

Pertama, mantan Mendikbud, Daoed Yoesoef, menyatakan secara filosofis bahwa ”di dunia ini hanya ada dua macam profesi, yakni guru dan profesi selain guru”. Sejalan dengan pendapat Daoed Yoesoef tersebut, Steinnett dan Guggett menyatakan bahwa “mengajar seringkali disebut sebagai ibu dari segala profesi”.
 
Kedua, Mantan Mendikbud, Wardiman Djojonegoro, menyatakan dengan tegas bahwa “berbicara masalah martabat guru, maka separuhnya adalah kesejahteraannya”.
 
Keempat, pendapat umum menyatakan bahwa ”tidak ada profesi yang lebih mulia dibanding mengajar. Guru yang hebat adalah artis yang hebat, tapi medianya bukanlah kanvas, melainkan jiwa manusia” (Anoname).
Kelima, Mohammad Surya, Ketua Umum organisasi guru terbesar di Indonesia, PGRI, menyatakan bahwa “semua keberhasilan agenda reformasi pendidikan, pada akhirnya ditentukan oleh unsur yang berada di front terdepan, yaitu guru. Hak-hak guru sebagai pribadi, pemangku profesi keguruan, anggota masyarakat, dan warga negara yang selama ini terabaikan, perlu mendapat prioritas dalam reformasi.
Keenam, Ki Supriyoko (Kompas, 10 Agustus 2006) mengingatkan tentang faktor kunci keberhasilan revitalisasi pendidikan, yaitu terletak pada guru. Diberikan satu contoh bahwa Ki Hajar Dewantara pernah mengajar di ruang dengan atap bocor, dinding miring, meja belajar seadanya di Taman Siswa, tetapi karena memang guru (pamong)-nya baik, maka hasil pendidikannya pun baik.
Daftar pandangan dan ungkapan tersebut akan jauh lebih panjang lagi sekiranya penulis mau meneruskan. Singkat kata pernyataan itu menunjukkan bukti dan indikasi bahwa guru memang memegang peranan penting. Guru tidak hanya penting sebagai seorang agen pembelajaran di sekolah, tetapi juga seorang agen pembaharusn untuk kehidupan manusia. Oleh karena itu, education is too important to be left only to government (United States Secretary of Education). Pendidikan terlalu penting untuk diabaikan begitu saja hanya oleh pemertintah. Life is education, and education is life. Kehidupan adalah pendidikan, dan pendidikan adalah kehidupan itu sendiri (Prof. Proopert Lodge). Jika Anda sempat membaca buku Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata, maka Anda pasti masih akan dapat menyimpulkan bahwa betapa sebuah SD dan SMP Muhammadiyah di Belitung yang kondisinya akan ambruk masih dapat menghasilkan lulusan yang begitu dahsyat. Karena apa? Hanya karena kepala sekolah dan gurunya yang memiliki dedikasi dan komitmen yang tinggi sebagai pendidik.
Sertifikasi guru dalam jabatan yang sekarang ini sedang dilaksanakan dengan gencar, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mendorong agar para guru di negeri ini secara bertahap menjadi guru yang bekualitas dan sekaligus dapat meningkatkan kesejahterannya. Bentuk peningkatan kesejahteraan guru berupa pemberian tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok bagi guru yang telah memiliki sertifikat pendidik (Pedoman Sertifikasi Guru Dalam Jabatan).

Apakah Guru itu Sebagai Profesi?
Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 telah menyebutkan dengan demikian jelas bahwa “pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksnakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”. Dengan kata lain, pendidik atau guru adalah sebagai profesi. Guru sebagai profesi di Indonesia secara formal telah dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, bertepatan dengan acara puncak peringatan Hari Guru Nasional XII, tanggal 2 Desember 2004.
Pasal 1 butir 1 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menjelaskan bahwa “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.

Pertanyaan yang muncul, apakah pekerjaan guru memang telah memenuhi syarat sebagai profesi? Ada dua pendapat agak mirip yang menjelaskan syarat-syarat guru sebagai profesi. Kedua pendapat tersebut dapat dijelaskan dalam tabel berikut.

Tabel: Perbandingan dua pandangan tentang syarat pekerjaan disebut sebagai profesi
No.
Sambas Suryadi
(Westby Gybon, 1965)
Dedi Supriadi
1
Adanya pengakuan oleh masyarakat dan pemerintah
Mempunyai fungsi dan signifikansi sosial karena diperlukan oleh masyarakat
2
Memerlukan bidang ilmu pengetahuan sebagai landasan teknik dan prosedur kerja yang unik dan berbeda dengan bidang pekerjaan lain
Menuntuk adanya keterampilan atau keahlian
3
Memerlukan persiapan yang sengaja  dan sistematis untuk mengerjakan pekerjaan tersebut
Untuk memperoleh keterampilan dan keahlian tersebut didukung oleh disiplin ilmu tertentu
4
Memiliki mekanisme untuk melakukan seleksi secara efektif dan kompetitif.
Memiliki kode etik yang menjadi pedoman bagi para anggotanya untuk melaksanakan tugas profesionalnya.
5
Mempunyai organisasi profesi untuk melindungi kepentingan anggotanya
Sebagai konsekuensi dari proses layanan profesional yang diberikan kepada masyarakat, mereka yang bertugas dalam bidang pekerjaan tersebut berhak memperoleh imbalan finansial dengan sistem penggajian yang memadai.

Sumber: Suparlan, Guru Sebagai Profesi, 2006: 70 – 71.

Berdasarkan dua pandangan tersebut, maka tampak jelas bahwa guru memang sebagai profesi. Pertama, guru merupakan jenis pekerjaan yang memiliki fungsi dan signifikansi dengan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, bahkan masyarakat dan pemerintah (presiden) telah memberikan pengakuan secara formal bahwa bahwa guru sebagai profesi. Kedua, guru memang harus memiliki kemampuan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan keahlian yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan dari institusi pendidikan yang telah terakreditasi. Oleh karena itu, maka guru harus mempunyai kualifikasi akademis dan kompetensi yang memadai. Ketiga, selain itu guru memiliki organisasi profesi dan kode etik profesi yang harus dipedomani dalam pelaksanaan tugas-tugas profesionalnya. Keempat, untuk mendukung kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan tugasnya dengan baik, maka guru atau pendidik berhak untuk memperoleh kesejahteraan yang memadai.

Apa Yang Dimaksud Guru Dalam Jabatan?
Yang dimaksud guru dalam jabatan adalah guru yang sedang melaksanakan tugas (on the job) mengajar dan mendidik, baik guru di lembaga pendidikan negeri maupun swasta, serta para guru yang mengajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah pembinaan Depdiknas maupun Departemen Agama. Pengertian yang sama digunakan, misalnya untuk on the job training atau pelatihan bagi para guru yang masih aktif melaksanakan tugas profesionalnya sebagai pengajaar. Pengertian ini digunakan untuk membedakan dengan para calon guru yang sedang menuntut pendidikan prajabatan (preeducation) di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK).

Kualifikasi, kompetensi, dan Sertifikasi
Bab IV Bagian Kesatu UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah menjelaskan tentang kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi guru sebagai berikut:
Pertama, guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (pasal 8).
Kedua, kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat (pasal 9).
Ketiga, kompetensi guru sebagaimana meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (pasal 10).
Keempat, (1) sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan; (2) sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah; (3) sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel (pasal 11).
Kelima, setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu pasal 12).
Keenam, (1) pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 12)
Tabel: Standar Kompetensi Guru
No.
Kompetensi
Kompetensi Inti Guru
I
Kompetensi Pedagodik
1
Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan
intelektual.
2
Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.
3
Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu.
4
Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik.
5
Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran.


6
Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.
7
Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.
8
Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar.
9
Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.
10
Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
II
Kompetensi Kepribadian
11
Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia.
12
Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan
masyarakat.
13
Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa.
14
Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya
diri.
15
Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
III
Kompetensi Sosial
16
Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi.
17
Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat.
18
Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki
keragaman sosial budaya.
19
Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.
IV
Kompetensi Profesional
20
Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran
yang diampu.
Sumber: PP Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi

Apakah yang dimaksud sertifikasi guru?

Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Iandonesia Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan disebutkan bahwa “sertifikasi bagi guru dalam jabatan adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dalam jabatan”.
Apa Hakikat Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Terkait Dengan Standar Nasional Pendidikan?
Sertifikasi guru dalam jabatan pada hakikatnya merupakan penerapan standar pendidik dan tenaga kependidikan. Sebagaimana kita ketahui, pasal 2 ayat (1) PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyebutkan 8 standar nasional pendidikan, yakni (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan. Telah dijelaskan pula bahwa dalam Pasal 8 UU Nomor 14 Tahun 2005 disebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dengan kata lain, guru merupakan profesi seperti profesi lain, misalnya dokter, akuntan, pengacara, apoteker, dan sebagainya. Pembuktian profesionalitas guru perlu dilakukan. Seorang akuntan harus mengikuti pendidikan profesi terlebih dahulu demikian juga untuk profesi lainnya, termasuk profesi guru.
 
Apa Manfaat Sertifikasi Guru?
Manfaat sertifikasi guru antara lain adalah (1) melindungi profesi guru dari praktek-praktek yang tidak kompeten (malpraktik), yang dapat merusak citra profesi guru, (2) melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan tidak profesional.
 
Apa Tujuan Sertifikasi Guru?
Sertifikasi guru mempunyai tujuan untuk: (1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, (2) meningkatkan profesionalitas guru, termasuk di dalamnya kesejahteraan guru, (3) meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, (4) meningkatkan martabat guru.
 
Siapa yang dapat mengikuti sertifikasi guru daru dalam jabatan?
Dalam Pasal 1 ayat (2) dinyatakan bahwa “sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diikuti oleh guru dalam jabatan yang telah memiliki kualifikasi akademik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV)”.
Lembaga apakah yang akan menyelenggarakan kegiatan sertifikasi guru dalam jabatan tersebut?
Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) dinyatakan dengan jelas bahwa “sertifikasi bagi guru dalam jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional”.
 
Bagaimana sertifikasi guru dalam jabatan tersebut dilaksanakan oleh asesor di LPTK?
Pasal 2 ayat (1) dalam Permendiknas tersebut menyatakan bahwa “sertifikasi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi untuk memperoleh peserta didik” Selain itu, dalam ayat (2) dinyatakan dengan tegas bahwa “sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidik” Dalam ayat (3) juga dinyatakan secara eksplisit bahwa “uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk penilaian portofolio”.
Proses pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:
Bagan: Prosedur Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan
Bagan prosedur sertifikasi bagi guru dalam jabatan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Guru dalam jabatan, peserta sertifikasi, menyusun dokumen portofolio dengan mengacu Pedoman Penyusunan Portofolio Guru.
2. Dokumen Portofolio yang telah disusun kemudian diserahkan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk diteruskan kepada Rayon LPTK Penyelengara sertifikasi untuk dinilai oleh asesor dari Rayon LPTK tersebut.
3. Rayon LPTK Penyelengara Sertifikasi terdiri atas LPTK Induk dan sejumlah LPTK Mitra.
4. Apabila hasil penilaian portofolio peserta sertifikasi dapat mencapai angka minimal kelulusan, maka dinyatakan lulus dan memperoleh sertifikat pendidik.
5. Apabila hasil penilaian portofolio peserta sertifikasi belum mencapai angka minimal kelulusan, maka berdasarkan hasil penilaian (skor) portofolio, Rayon LPTK merekomendasikan alternatif sebagai berikut.
o Melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan profesi pendidik untuk melengkapi kekurangan portofolio.
o Mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (Diklat Profesi Guru atau DPG) yang diakhiri dengan ujian. Materi DPG mencakup empat kompetensi guru.
o Lama pelaksanaan DPG diatur oleh LPTK peneyelenggara dengan memperhatikan skor hasil penilaian portofolio.
o Apabila peserta lulus ujian DPG, maka peserta akan memperoleh Sertfikat Pendidik.
o Bila tidak lulus, peserta diberi kesempatan ujian ulang dua kali, dengan tenggang waktu sekurang-kurangnya dua minggu. Apabila belum lulus juga, maka peserta diserahkan kembali ke Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
6. Untuk menjamin standardisasi prosedur dan mutu lulusan maka rambu-rambu mekanisme, materi, dan sistem ujian DPG dikembangkan oleh Konsorsium Sertifikasi Guru (KSG).
7. DPG dilaksanakan sesuai dengan rambu-rambu yang ditetapkan oleh KSG.
Dokumen apa saja yang harus dipersiapkan para guru yang akan mengikuti penilaian portofolio?
Dalam ayat selanjutnya, yakni ayat (4) disebutkan bahwa “penilaian portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang:
1. kualifikasi akademik;
2. pendidikan dan pelatihan;
3. pengalaman mengajar;
4. perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran;
5. penilaian dari atasan dan pengawas;
6. prestasi akademik;
7. karya pengembangan profesi;
8. keikutsertaan dalam forum ilmiah;
9. pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial; dan
10. penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Untuk memudahkan kita untuk mengingat sepuluh dokomen tersebut, marilah kita membuat titian ingatan berupa singkatan atau akronim sebagai berikut, KP5K2P2, singkatan dari sepuluh persyaratan tersebut, atau dengan akronim memudahkan kita mengingat, misalnya sebagai berikut:
• KUA – kualifikasi akademik
• DIKLAT – pendidikan dan pelatihan
• LAMANJAR – pengalaman mengajar
• RPP – perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
• NAP – penilaian dari atasan dan pengawas
• PRESTASI – prestasi akademik
• KARYA – karya pengembangan profesi
• FORUM ILMIAH – keikutsertaan di bidang kependidikan dan sosial
• LAMAN – pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial.
• HARGA – Penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Akronim tersebut dapat disingkat sebagai berikut: KUADIKLAT – LAMANJAR RPP NAP – PRESTASI KARYA FORUM ILMIAH – LAMAN HARGA. Sekali lagi 10 aspek yang akan dinilai dalam proses sertifikasi guru dalam jabatan adalah sebagai berikut:
Tabel: 10 Apek Penilaian Sertifikasi
No.
Aspek Penilaian
Penjelasan
Dokumen
1
Kualifikasi akademik
Kualifikasi akademik S1 (gelar) dan D4 (nongelar), baik dari dalam maupun luar negeri yang telah dilegalisasi.
·    Ijazah S1
·    Sertifikat D4 Kualifikasi dari luar negeri dilegalisasi oleh Ditjen Dikti
2
Pendidikan dan pelatihan
Megengikuti pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan kompetensi dalam melaksanakan tugas sebagai guru
·    Sertifikat/piagam/surat keterangan mengikuti pendidikan dan pelatihan yang telah dilegalisasi oleh atasan.
3
Pengalaman mengajar
Pengalaman mengajar atau masa kerja dalam melaksanakan tugas sebagai guru/pendidik dari pemerintah atau penyelenggara pendidikan
·    SK, dilegalisasi oleh atasan.
4
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
Persiapan mengajar atau persiapan dalam mengelola pembelajaran di dalam kelas
·    RP/SP/RPP yang telah dilegalisasi oleh atasan.
Format penilaian dari atasan (amplop tertutup)
5
Penilaian dari atasan dan pengawas
Penilaian dari kepala sekolah dan pengawas terhadap kompetensi kepribadian dan sosial
·    Format penilaian dari kepala sekolah dan pengawas
Dilampirkan dalam amplop tertutup
6
Prestasi akademik
Prestasi guru bidang keahlian sebagai guru berupa karya akademik yang mendapat mengakuan dari lembaga/panitia penyelenggara
·    Piagam/sertifikat/surat keterangan dalam kegiatan lomba bidang kependidikan dan nonkependidikan atau dalam kegiatan profesional seperti instruktur, guru inti, tutor, atau pembimbing kegiatan siswa
7
Karya pengembangan profesi
Karya atau produk yang telah dihasilkan oleh guru
·    Buku yang telah diterbitkan
·    Artikel yang telah dimuat dalam koran, majalah, jurnal, buletin, dan media publikasi lain
·    Modul atau diktat yang memuat materi pelajaran dalam satu tahun
·    Laporan penelitian, baik perorangan atau kelompok
·    Karya seni
Diperlulan legalisasi atau surat keterangan dari pejabat yang berwenang
8
Keikutsertaan dalam forum ilmiah
Keikutsertaan menjadi pembicara, panitia, atau peserta dalam forum ilmiah.
·    Makalah
·    Sertifikat/piagam/surat keterangan
9
Pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial
Menjadi pengurus (bukan hanya sebagai anggota) dalam organisasi pendidikan dan sosial
·    Sebagai pengawas, kepala sekolah, wakil kepala sekolah
·    Ketua jurusan, kepala lab, kepala bengkel, kepala studio, ketua MBMP, dsb.
10
Penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan
Penghargaan yang diterima karena dedikasinya sebagaiguru dengan kriteria kuantitatif (lama, hasil, lokasi) atau kuantitatif (komitmen, etos kerja) dan relevansinya (dalam bidang atau rumpun)
·    Sertifikat/piagam/surat keterangan yang telah dilegalisasi oleh atasan.
Catatan:
• Perlu diingatkan oleh para guru bahwa semua sertifikat/piagam/surat keterangan harus selalu dilegalisasi oleh atasan atau pejabat yang berwewenang.
• Diperlukan kejujuran dan tanggung jawab akademik dalam melampirkan semua dokumen dan sertifikat/piagam/ surat keterangan tersebut.
• Seharusnya setiap guru memiliki dua file untuk meyimpan arsip dokumen-dokumen tersebut. Satu file disimpan di rumah, dan satu file disimpan di kantor (sekolah).
Adakah Kritik Dan Masukan Terhadap Kebijakan Sertifikasi Guru?
Memang telah muncul beberapa kritik dari kalangan masyarakat, terutama masyarakat pendidikan, terhadap kebijakan serifikasi guru. Itu merupakan hal yang wajar dalam era demokrasi. Kritik tersebut sudah barang tentu akan menjadi masukan berharga bagi pemerintah. Beberapa kritik tersebut antara lain sebagai berikut:
Pertama, kritik terhadap kinerja LPTK selama ini. Kinerja LPTK selama ini ternyata tidak atau kurang dapat menghasilkan lulusan yang kompeten, atau yang memiliki kompetensi yang terstandar. Oleh karena itu, ke depan LPTK mempunyai tantangan yang besar untuk dapat menghasilkan guru yang telah bersertifikat. Sertifikasi masih diperlukan untuk menentukan kenaikan jabatan guru.
Kedua, nasib guru senior yang belum memiliki kualifikasi akademis S1 atau D4. Satu hal yang sangat ironis terjadi jika seorang guru yunior S1 ternyata lulus sertifikasi. Sementara guru senior, yang notabene telah mengabdi selama lebih dari dua puluh tahun, tidak dapat mengikuti sertifikasi lantaran belum mempunyai kualifikasi S1. Padahal, kita banyak mengetahui proses pemerolehan kualifikasi oleh guru-guru yunir tersebut juga tidak sepenuhnya objektif. Hal ini dapat menimbulkan konflik intern di dalam sekolah yang akan menggangu penyelenggaraan pendidikan.
Ketiga, bagaimana sertifikasi untuk pengawas sekolah? Sebagaimana kita ketahui, pengawas sekolah adalah guru-guru yang “super senior”. Tugas pengawas antara lain adalah untuk mengawasi kinerja para guru atau pendidik di daerahnya. Guru dan pengawas sekolah sama-sama sebagai tenaga atau jabatan fungsional, yang harus memperoleh perhatian yang sama dengan guru.
Keempat, praktik-praktik tidak jujur telah terjadi ketika guru mendokumentasikan protofolionya. Praktik “copy – paste” telah terjadi, misalnya sertifikat mengikuti seminar dan penataran, bahkan juga “copy – paste” karya tulis atau karya ilmiah yang harus dilampirkan. Beberapa praktik tidak terpuji tersebut telah ditemukan oleh asesor di beberapa LPTK. Sudah tentu upaya preventif akan lebih baik dibandingkan dengan upaya pengamanan secara kuratif. Oleh karena itu, sosialisasi tentang sertifikasi yang lebih gencar perlu dilakukan, agar semua pihak memahami kebijakan yang telah lama ditunggu-tunggu ini.
Refleksi
Makalah singkat ini ditulis untuk disampaikan dalam acara pelatihan sertifikasi yang diadakan oleh Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Barat yang bekerja sama dengan PGRI. Sebagai organisasi profesi guru terbesar di tanah air, kegiatan pelatihan seperti ini perlu lebih mendapatkan perhatian dari PGRI. Kebijakan sebesar sertifikasi ini memang harus dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang terkait secara sinergis, termasuk para guru sebagai agen kunci peningkatan mutu pendidikan.

yang ingin download seluk beluk sertifikasi DI SINI
Share:

Pengaruh Globalisasi Terhadap Perkembangan Mental Generasi Muda Indonesia

Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.
Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.
        Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.
        Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.
        Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme?
        Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.
 Antisipasi Pengaruh Negatif Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme
Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu :
  1. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
  2. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
  3. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
  4. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
  5. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.
Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa.
Share:

UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
(analisis terhadap kebijakan perubahan UUSPN no 2 Tahun 1989 menjadi
UU SISDIKNAS Nomor 20 tahun 2003)[i]
Oleh : Ahmad Farhan Syaddad
A. Pendahuluan
Setidaknya ada dua Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang pernah dimiliki Indonesia yaitu Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih di kenal dengan nama UUSPN. Dan yang kedua Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisten Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama UU SISDIKNAS, sebelum adanya kedua Undang-undang yang mengatur tentang system pendidikan nasional, Indonesia hanya memiliki Undang-undang tentang pokok-pokok pengajaran dan pendidikan yaitu Undang-undang Nomor 4 tahun 1950.
Adanya perubahan UUSPN No.2 tahun 1989 menjadai UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 dimaksudkan agar system pendidikan nasional kita bisa menjadi jauh lebih baik dibanding dengan system pendidikan sebelumnya. Hal ini seperti yang dikemukan oleh seorang pengamat hokum dan pendidikan, Frans Hendrawinata[ii] beliau mengatakan bahwa dengan adanya undang-undang sistem pendidikan nasional yang baru, maka diharapkan undang-undang tersebut dapat menjadi pedoman bagi kita untuk memiliki suatu sistem pendidikan nasional yang mantap, yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan masyarakat akan sumber daya manusia yang berkualitas. Apalagi mengingat semakin dekatnya era keterbukaan pasar. Hal tersebut sesungguhnya harus menjadi kekhawatiran bagi kita semua mengingat kualitas sumber daya manusia di Indonesia berada di bawah negara-negara lain termasuk negara-negara tetangga di Asean. Oleh sebab itulah diperlukan suatu platform berupa sistem pendidikan nasional yang dapat menciptakan sumber daya manusia yang mampu bersaing dengan dunia internasional khususnya dalam era keterbukaan pasar saat ini.
B. Analisis
Saat kedua undang-undang tersebut baik UUSPN No 2 tahun 1989 maupun UU SISDIKNAS  Nomor 20 tahun 2003 masih berupa Rencana undang-undang terjadi berbagai kontroversi, misalnya saat UUSPN nomor 2 tahun 1989 akan diundangkan banyak sekali protes dari kalangan muslim yang menghendaki adanya perubahan-perubahan pada pasal tertentu yang dipandang tidak mencerminkan pendidikan yang mengarah pada pembentukan Ahlaq dan budi pekerti bahkan tokoh-tokoh Islam Bogor seperti K.H. Sholeh Iskandar dan KH. TB Hasan Basri menyebut RUU tersebut sebagai RUU yang tidak bermoral. Mengapa demikian karena pada UU tersebut tidak terdapat pasal khusus yang mengatur pendidikan agama. Pengaturan itu ada pada penjelasan Pasal 28 Ayat 2 yang menyatakan, “Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan”. Padahal dalam UU sebelumnya yaitu Dalam pasal 20 UU No 4/1950 dinyatakan, 1) Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut; 2) Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama
Di sisi lain RUU SPN No. 2 tahun 1989 justru memberikan warna baru untuk lembaga pendidikan Islam dimana dengan diberlakukannya UUSPN No 2 tahun 1989 madrasah-madrash mendapat perlakuan yang sama dengan sekolah umum lainnya karena dalam UUSPN tersebut madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan kurikulum madrasah sama persis dengan sekolah umum plus pelajaran agama Islam sebanyak tujuh mata pelajaran. Secara operasional, integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional ini dikuatkan dengan PP No. 28 tahun 1990 dan SK MenDepartemen Pendidikan Nasional No. 0487/U/ 1992 dan No. 054/U/ 1993 yang antara lain menetapkan bahwa MI/MTs wajib memberikan bahan kajian sekurang kurangnya sama dengan “SD/SMP”. Surat-surat Keputusan ini ditindak lanjuti dengan SK Menteri Agama No. 368 dan 369 tahun 1993 tentang penyelenggaraan MI dan MTs. Sementara tentang Madrasah Aliyah (MA) diperkuat dengan PP Nomor 29 tahun 1990, SK MenDepartemen Pendidikan Nasional Nomor 0489/U/ 1992 (MA sebagai SMA berciri khas agama Islam) dan SK Menag Nomor 370 tahun 1993. Pengakuan ini mengakibatkan tidak ada perbedaan lagi antara MI/MTs/MA dan SD/SMP/SMA selain ciri khas agama Islamnya)[iii]
Sementara saat akan diundangkannya RUU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 terjadi juga kontroversi dimana RUU ini dianggap oleh  Kelompok tertentu sebagai RUU yang  sangat tidak pluralis. Yang dianggap paling kontroversial adalah Pasal 13 ayat 1a yang berbunyi: “Setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.
Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa visi dan misi pendidikan nasional sangat terfokus pada nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia. Konsep itu mengesampingkan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional dipersempit secara substansial. Padahal tugas untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan adalah tugas lembaga keagamaan dan masyarakat, bukan lembaga pendidikan.
Mereka yang menentang umumnya datang dari kalangan lembaga-lembaga pendidikan swasta non-Islam, sedangkan yang mendukung adalah dari kelompok penyelenggara pendidikan Islam. Hal yang ditentang adalah yang menyangkut keharusan sekolah-sekolah swasta menyediakan guru agama yang seagama dengan peserta didik. Pasal ini menimbulkan konsekuensi biaya terhadap lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan baik Kristen maupun Islam. Karena mereka harus merekrut guru-guru agama sesuai dengan keragaman agama anak didiknya.
Pasal ini sangat adil. Sebab, sekolah-sekolah non-Islam dan Islam dikenai kewajiban yang sama. Sekolah-sekolah Islam menyediakan guru agama dari non-Islam, sebaliknya sekolah-sekolah non-Islam menyediakan guru-guru agama Islam. Hanya realitasnya adalah banyaknya anak-anak dari keluarga Islam yang bersekolah di sekolah non-Islam. Sementara itu anak-anak dari keluarga non-Islam sedikit sekali – untuk tidak menyatakan tidak ada – yang bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan yang berwatak Islam.
Konsekuensinya, beban anggaran sekolah-sekolah non-Islam untuk menyediakan guru-guru agama Islam lebih besar daripada anggaran sekolah-sekolah swasta Islam untuk menggaji guru-guru agama lain. Padahal UU itu cukup adil. Masalah itu bisa terjawab manakala pemerintah menyediakan dan menanggung gaji guru-guru agama itu. Atau beban itu diserahkan sepenuhnya ke orang tua anak didik, bukan lembaga pendidikan. Jika ini tidak diatasi, akan menimbulkan bahaya besar. Sekolah-sekolah swasta baik Islam maupun non-Islam karena keterbatasan anggaran lalu membatasi jumlah anak didik yang berbeda agama.
Departemen Agama (Depag) sudah mengantisipasi dengan menyediakan tenaga guru-guru agama bila RUU Sisdiknas ini disahkan. Jadi, sebetulnya tidak masalah dan mengkhawatirkan soal tenaga guru untuk memenuhi tenaga pengajar di sekolah-sekolah non-Islam.
Lain halnya jika dalam memaknai dan memahami pasal 13 RUU Sisdiknas, semula kalangan dari penyelenggara negara sampai lembaga-lembaga pendidikan keagamaan masih terjebak pada kecurigaan-kecurigaan isu agama seperti adanya islamisasi dan seterusnya yang semestinya sudah lama dihilangkan.
Jika kita lihat perjalanan diberlakukannya kedua undang-undang tersebut tidaklah ada yang berjalan mulus kedua-duanya mengandung kontoversi dan pada akhirnya dibalik semua kontroversi yang ada pada tanggal 8 Juli 2003 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan Nasional disyahkan oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri.
Banyak sekali keuntungan yang dirasakan oleh ummat Islam dengan diberlakukannya UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 ini, diantaranya :
  1. Tujuan Pendidikan Nasional sangat memberikan peluang untuk merealisasikan  nilai-nilai Al Quran yang menjadi tujuan pendidikan Islam yaitu terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqwa (pasal 3).
  2. Anak-anak Muslim yang sekolah di lembaga pendidikan Non Islam akan terhindar dari pemurtadan, karena anak-anak tersebut akan mempelajari mata pelajaran agama sesuai dengan yang dianut oleh siswa tersebut dan diajarkan oleh guru yang seagama dengan dia (Pasal 12 ayat 1a)
  3. Madrasah-madrasah dari semua jenjang terintegrasi dalam system pendidikan nasional secara penuh (Pasal 17 dan 18)
  4. Pendidikan keagaamaan seperti Madrasah diniyah dan pesantren mendapat perhatian khusus pemerintah, karena pendidikan keagamaan tidak hanya diselenggarakan oleh kelompok masyarakat tetapi juga diselenggarakan oleh pemerintah (Pasal 30).
  5. Pendidikan Agama diajarkan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi (Pasal 37).
C. Faktor-Faktor yang mempengaruhi perubahan UUSPN No 2/89 menjadi UUSISDIKNAS No 20/2001.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dirubahnya UUSPN No 2/89 menjadi    UUSISDIKNAS No 20 Tahun 2003 diantaranya adalah :
  1. UUSPN No. 2 Tahun 1989  masih bersifat sentralistik
  2. UUSPN No. 2 Tahun 1989 masih belum bermutu, kemudian sesuai tuntutan dalam UUSISDIKNAS No. 20 tahun 2003 dibuatlah Standar Nasional Pendidikan
  3. UUSPN No. 2 Tahun 1989 belum mengarah pada pendidikan untuk semua
  4. Belum Mengarah pada pendidikan seumur hidup
  5. Pendidikan belum link and match dengan dunia usaha dan dunia kerja.
  6. Belum menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur.
D. Penutup
Selama tidak ada keinginan dan tidak memiliki prinsip bahwa hari ini harus jauh lebih baik dari hari kemarin maka sehebat apapun undang-undang yang dibuat tetapi tidak meiliki keinginan untuk memperaktekannya di lapangan, maka undang-undang tersebut hanya bagaikan guru di atas kertas tetapi menjadi tikus pada tataran realita.
DAFTAR BACAAN
  1. Departemen Pendidikan Nasional, UUSPN No.2 tahun 1989
  2. Departemen Pendidikan Nasional, UU SISDIKNAS No 20 tahun 2003
  1. Husni Rahim, Pengakuan madrasah sebagai sekolah umum (berciri khas Islam) dalam http://pendis.depag.go.id
  1. Eko Budi Harsono, RUU Sistem Pendidikan Nasional dan Jebakan Isu Agama
dalam http://www.suarapembaruan.com
Share:

Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa

A.      Pengertian Motivasi
Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan antusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.
B.       Fungsi dan Pengaruh Motivasi
Motivasi mempunyai fungsi yang penting dalam belajar, karena motivasi akan menentukan intensitas usaha belajar yang dilakukan siswa. Hawley (Yusuf 1993 : 14) menyatakan bahwa para siswa yang memiliki motivasi tinggi, belajarnya lebih baik dibandingkan dengan siswa yang motivasi belajarnya rendah. Sardiman (1988 : 84)  mengemukakan ada tiga fungsi motivasi, yaitu :
  1. Mendorong manusia untuk berbuat. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan ;
  2. Menuntun arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai, dengan demikian motivasi dapat memberi arah, dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya ;
  3. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
C.      Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa
Dalam rangka mengupayakan agar motivasi belajar siswa tinggi, seorang guru menurut Winkel (1991) hendaknya selalu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
  1. Seorang guru hendaknya mampu mengoptimalisasikan penerapan prinsip belajar, pada prinsipnya harus memandang bahwa dengan kehadiran siswa di kelas merupakan suatu motivasi belajar yang datang dari siswa.
  2. Guru hendaknya mampu mengoptimalisasikan unsur-unsur dinamis dalam pembelajaran, karena dalam proses belajar, seorang siswa terkadang dapat terhambat oleh adanya berbagai permasalahan. Hal ini dapat disebabkan oleh karena kelelahan jasmani ataupun mental siswa.  Untuk itu upaya yang dapat dilakukan  seorang guru (Dimyati, 1994 : 95) adalah dengan cara :
    1. memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan hambatan belajar yang di alaminya ;
    2. meminta kesempatan kepada orang tua siswa agar memberikan kesempatan kepada siswa untuk beraktualisasi diri dalam belajar ;
    3. memanfaatkan unsur-unsur lingkungan yang mendorong belajar ;
    4. menggunakan waktu secara tertib, penguat dan suasana gembira terpusat pada perilaku belajar ;
    5. merangsang siswa dengan penguat memberi rasa percaya diri bahwa ia dapat mengatasi segala hambatan dan pasti berhasil.
    6. Guru mengoptimalisasikan pemanfataan pengalaman dan kemampuan siswa. Perilaku belajar yang ditunjukkan siswa merupakan suatu rangkaian perilaku yang ditunjukkan pada kesehariannya. Untuk itu, maka pengalaman yang diberikan oleh guru terhadap siswa dalam meningkatkan motivasi belajar menurut Dimyati dan Mudjiono (1994) adalah dengan cara :
      • siswa ditugasi membaca bahan belajar sebelumnya, tiap membaca hal-hal penting dari bahan tersebut dicatat.
      • guru memecahkan hal yang sukar bagi siswa dengan cara memecahkannya.
      • guru mengajarkan cara memecahkan dan mendidik keberanian kepada siswa dalam mengatasi kesukaran.
      • guru mengajak serta siswa mengalami dan mengatasi kesukaran.
      • guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mampu memecahkan masalah dan mungkin akan membantu rekannya yang mengalami kesulitan.
      • guru memberi penguatan kepada siswa yang berhasil mengatasi kesulitan belajarnya sendiri.
      • guru menghargai pengalaman dan kemampuan siswa agar belajar secara mandiri.
Share:

Jadwal Waktu Sholat

TIME WIB

TV EDUKASI LIVE

Popular Posts

Recent Posts

Pages